Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk dalam isak dan deraian air mata. "Kenapa Ibu menangis?"
pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi, bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah
Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu. Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga
selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdo'a, mohonkan
ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga
usai. Aku berdiri dan meninggalkan Ibu
sendirian di ruang shalat dengan tetap menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di ruang makan. Bukankah Ibu selalu khusyuk
dalam shalat? Kembali aku dibayang berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat, mengaji dan berdzikir? Bukankah Ibu
paling senang mendengarkan ceramah di masjid? Bukankah Ibu juga tidak
melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...
Tapi kenapa Ibu sampai menangis? Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali. Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuh puluh tahun lebih. Tujuh orang anak merupakan berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah besar. Aku yang bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak tertawa dan bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalu bersamanya setiap hari? "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah Bu, Ayung sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai menyanduk nasi dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja tidak makan nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya. "Bagaimana kuliahmu?"
"Alhamdulillah
Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport dan kebutuhan kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang tidak. Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan lain. Jika tidak, maka mau tidak mau aku harus puasa. Hal ini yang sering aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada siapapun, termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak mengeluh. "Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab
begitu. Biasanya Ibu tidak akan bertanya
lagi setelah itu. "Bu!" sapaku
ketika Ibu terdiam. "Mmm,"
jawab Ibu. "Kenapa seusai shalat
tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar
pertanyaanku. "Ayung cemas
melihat Ibu menangis." Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu
membasuh tangan dan melapnya dengan
serbet. Ibu masih diam, tapi di matanya
kulihat airmata mulai berlinang. Setelah
itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu
sembahyang berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya
datang dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti
kepada orang tua dan anak yang shalih..
"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api neraka, karena doa anak yang shalih
sangat didengar oleh Allah swt," kata ustadz. "Tapi sebaliknya orang tua
tidak selamat dari api neraka jika anak yang dididiknya tidak mampu
menjalankan ibadah dan tidak pandai membaca Al-Qur'an.
"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu itu. "Ya, apa artinya kita taat
tapi tidak membuat anak taat kepada Tuhannya. Apalagi sampai tidak bisa
sembahyang dan mengaji, anak yang jauh dari perintah Allah dan mendekati
laranganNya. Maka orang tuanya diakhirat akan ditanya tentang
anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan orang tua jika di akhirat nanti anak
mengakui dirinya tidak dididik oleh orang tuanya untuk taat beribadah. Tidak
pernah menegur, memukul bahkan menamparnya, jika lalai menjalankan
perintah agama." Ketika itu Ibu
menyadari apa yang sudah dilakukannya selama ini. Ibu ingat Jai, Jou, Han dan Fai.
Saat itulah Ibu merasa hidup dan ketaatannya selama ini tak berarti sama
sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun. Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Al-Qur'an di rumah dan jarang sembahyang, bahkan
tidak pernah sama sekali. Ibu merasa bersalah setelah mendengar ceramah itu.
Ibu menyadari bahwa ia tidak mendidik anak-anaknya sesuai ajaran
agama. Ibu selalu tidak tega memarahi anaknya, dan melihat anaknya
menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal. Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat membaca Al-Qu'ran Ibu tidak pernah tega
memaksa mereka untuk belajar Ibupun tidak marah. Bukankah ini berarti
Ibu tidak sanggup mendidik anak. Bukankah Ibu gagal menjadi orang tua? "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Al-Qur'an? Dan Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu mampu menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun
selalu berdoa untukmu. Yang Ibu pikirkan adalah kakak-kakakmu yang tidak
mampu membaca Al-Qur'an dan tidak menjalankan shalat."
Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun
sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamah. Mereka lebih suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan azan yang berkumandang dari masjid. Dan
Ibu tidak pernah menegur hal itu. Aku pun tidak pernah mempersoalkan
mereka. Sementara aku merasa takut, selain karena lebih kecil juga karena
aku takut mencampuri urusan mereka.
"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang taat, yang mengimami Ibu, walaupun kamu
yang terkecil. Entahlah.. Ibu sudah semakin tua, ajal sudah di ambang
pintu. Ternyata Ibu masih meninggalkan banyak pekerjaan yang tidak
selesai, ternyata Ibu tidak mampu mendidik kalian dan kalian ternyata
tidak bisa mendidik diri sendiri," kata Ibu terisak.
Air mataku mengalir tanpa terasa. "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor tiga datang dan memarahiku. "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng namanya. Lihat tuh di depan orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah," katanya lagi sambil menekan kepalaku.
"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"
"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu, yang duduknya cuma di dapur." "Tapi ia kan masih kuliah." "Aah. Ibu selalu membelanya,
mentang-mentang ia kuliah. Walaupun Han tidak pernah kuliah, Han ini anak
Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang melahirkan Han adalah Ibu. Tapi kenapa
dia, Ibu perlakukan berbeda dengan Han?" Han menunjuk-nunjuk
diriku. Mendapat serangan kata-kata
seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya
terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan
tangis Ibu. Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku
menghapusnya, tapi bagamana dengan kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya
warhamhuma, kamarabbayana saghiraa.
Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.*